Kamis, 24 April 2014

KEBUDAYAAN ACEH

KEBUDAYAAN ACEH

1. Letak Geografis

Aceh merupakan propinsi yang paling ujung letaknya di sebelah utara pulau Sumatra. Daerah ini dapat dikatakan seluas 55.390 km2. Batas yang paling Utara dari NegaraIndonesia adalah salah satu pulau, Pulau We yang termasuk daerah Aceh, yang terletak di lintang Utara 6o. Daerah yang luas ini dibagi dalam delapan daerah tingkat II (Kabupaten) ialah: Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Barat, dan Aceh Selatan.
Dalam sejarah Melayu, nama Aceh adalah Lam Muri; Marco Polo, seorang saudagar Venesia yang singgah di Peureulak pada tahun 1292 menyebutnya Lambri; kemudia orang Portugis mempergunakan nama Akhem; orang Belanda mempergunakan nama Akhin, sedangkan orang Aceh sendiri menyebut daerah mereka Aceh.

2. Bahasa dan Tulisan

Bahasa Aceh termasuk rumpun Bahasa Austronesia. Di daerah Aceh sendiri ada beberapa bahasa yang masing-masing pembicaraannya saling tidak dapat dimengerti. Ini disebabkan karena bahasa-bahasa itu berkembang melalui proses pemecahan dan isolasi yang lama antara kelompok-kelompok yang mengucapkan bahasa-bahasa tersebut. Di propinsi Aceh terdapat empat bahasa:

1. Bahasa Gayo-Alas, yang diucapkan oleh orang-orang Gayo dan Alas, penduduk Aceh Tengah
2. Bahasa Aneuk Jamee, yang khusus merupakan bahasa dari orang-orang Aceh Selatan dan Aceh Barat dan diucapkan kira-kira oleh 20% dari orang Aceh.
3. Bahasa Tamiang, yang tersebar di dekat perbatasan Aceh dengan Sumatra Timur, yang mendapat pengaruh dari bahasa Sumatra Timur dan yang diucapkan kira-kira oleh 10% dari orang Aceh.
4. Bahasa Aceh, yaitu bahasa yang diucapkan oleh penduduk Aceh Timur, Aceh Utara, Pidie, dan sebagian penduduk Aceh Barat, atau 70% dari orang Aceh.

Di samping itu masing-masing daerah Kabupaten mempunyai logat-logat bahasa yang berbeda-beda, dan di daerah lingkungan kabupaten sendiripun logat mereka kadang-kadang berbeda.
Tulisan-tulisan Aceh menggunakan huruf Arab Melayu. Huruf ini dikenal setelah datangnya agama Islam di Aceh. Orang-orang Aceh menyebut huruf Arab-Melayu itu HurufJawoe. Sampai saat ini, tulisan-tulisan itulah yang banyak digunakan oleh kalangan orang-orang tua, sehingga oleh karena itu orang Aceh bisa dianggap buta huruf. Berbeda di kalangan muda yang mengikuti pendidikan modern yang lebih mengenal tulisan latin, maka huruf ini tidak dikenal lagi.

3. Bentuk Desa

Desa bagi orang Aceh disebut gampong. Setiap gampong terdiri atas kelompok rumah yang letaknya saling berdekatan dan setiap desa mempunyai 50 sampai 100 buah rumah. Desa merupakan pusat kehidupan masyarakat, yang termasuk ke dalam masyarakat hukum territorial yang terkecil.
Rumah orang Aceh didirikan di atas tiang kayu atau bahan bambu, berdasarkan pada kemampuan orang. Dahulu tujuannya untuk menghindarkan diri dari serangan binatang buas. Rumah itu biasanya berbentuk bujur sangkar dan menghadap dari timur ke barat, tangganya selalu menghadap ke utara atau selatan, atapnya terdiri dari daun rumbia yang dianyam dan kebanyakan mempunyai daya tahan sampai 20 tahun, tiangnya terbuat dari kayu yang telah dijadikan balok-balok, lantainya dibuat dari papan dan terkadang dari bamboo, rumah kuno umumnya tidak menggunakan paku, tetapi menggunakan tali rotan untuk menyambung. Rumah-rumah itu didirikan berkelompok, dan bagi orang yang memiliki hubungan kekerabatan rumahnya dibangun berderet-deret, dan kadang-kadang hanya dibatasi pagar penghalang. Setiap rumah mempunyai halaman yang ditanami dengan tumbuhan-tumbuhan berguna yang bisa memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Di Aceh Tengah ada bentuk desa yang sedikit berbeda, disana rumah-rumah didirikan berkelompok-kelompok, dan kebun-kebun berda di sekitar kompleks rumah itu.
Rumah-rumah mereka kebanyakan hanya khusus untuk makan malam dan tidur saja, karena selama siang hari mereka mencari kesenangan di luar rumah. Akibatnya ibu menggantikan tugas ayah sebagai pendidik, dan tidak heran apabila anak sudah besar terasa ada sebuah pagar pemisah antara anak dan ayah.
Kegiatan penduduk desa sangat besar bagi kemajuan desa tersebut. Mereka bersama-sama beribadah dan membangun tempat ibadah seperti mesjid dan meunasah (madrasah), bergotong royong untuk kebersihan dan kesehatan desa. Tugas in adalah rutinitas pada hari jum’at, sedangkan hari lain dipakai untuk bekerja di sawah sebagai mata pencaharian pokok dari hampir setiap desa di Aceh.

4. Mata Pencaharian

Mata pencaharian pokok orang Aceh adalah bertani di sawah dan lading dengan tanaman pokok berupa padi, cengkeh, lada, kelapa, dll. Masyarakat yang bermukin di sepanjang pantai umumnya menjadi nelayan.
Sebagian besar orang Alas hidup dari pertanian di sawah atau lading, terutama yang bermukin di kampong (kute). Tanam Alas merupakan lumbung padi di Daerah Istimewa Aceh. Di samping itu penduduk berternak kuda, kerbau, sapi, dan kambing untuk dijual atau dipekerjakan di sawah.
Sedangkan orang Aneuk Jameehidup dari bersawah, berkebun, dan berladang, serta mencari ikan bagi penduduk yang tinggal di daerah [antai. Disamping itu ada yang melakukankegiatan berdagang secara tetap (berniago), salah satunya dengan cara menjajakan barang dagangannya dari kampong ke kampong (penggaleh). Sedangkan pda masyarakat Gayo adalah dominannya berkebun, terutama tanaman kopi.
Mata pencaharian orang Tamiang adalah bercocok tanam padi di sawah atau di lading. Penduduk yang ebrdiam di daerah pantai menangkap ikan dan membuat aran dari pohon bakau. Adapula yang menjadi buruh perkebunan atau pedagang.

5. Sistem Kekerabatan

Dalam sistem kekerabatan, bentuk kekerabatan yang terpenting adalah keluarga inti dengan prinsip bilateral. Adat menetap sesudah menikah bersifat matrilokal, yaitu tinggal di rumah orangtua istri selama beberapa waktu. Sedangkan anak merupakan tanggung jawab ayah sepenuhnya.
Pada orang Alas garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal atau menurut garis keturunan laki-laki. Sistem perkawinan yang berlaku adalah eksogami merge, yaitumencari jodoh dari luar merge sendiri. Adat menetap sesudah menikah bersifat virilokal, yang terpusat di kediama keluarga pihak laki-laki. Gabungan dari beberapa keluarga luas disebut tumpuk. Kemudian beberapa tumpuk bergabung membentuk suatu federasi adapt yang disebut belah (paroh masyarakat).
Dalam sestem kekerabatan tampaknya terdapat kombinasi antara budaya Minangkabau dan Aceh. Haris keturunan diperhitungkan berdasarkan prinsip bilateral, sedangkan adat menetap sesudah nikah adalah uxorilikal (tinggal dalam lingkungan keluarga pihak wanita). Kerabat pihak ayah mempunyai kedudukan yang kuat dalam hal pewarisan dan perwalian, sedangkan ninik mamak berasal dari kerabat pihak ibu. Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti yang disebut rumah tanggo. Ayah berperan sebagai kepala keluarga yang mempunyai kewajiban memenuhi kebutuhan keluarganya. Tanggung jawab seorang ibu yang utama adalah mengasuh anak dan mengatur rumah tangga.
Pada masyarakat gayo, garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau matriokal (angkap). Kelompok kekerabatan terkecil disebut saraine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga inti disebut sara dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah rumah panjang, sehingga disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu belah (klen).
Dalam sistem kekerabatan masyarakat Tamiang digunakan prinsip patrilineal, yaitu menarik garis keturunan berdasarkan garislaki-laki. Adat menetap sesudah nikah yang umum dilakukan adalah adat matrilokal, yaitu bertempat tinggal di lingkungan kerabat wanita.

6. Sistem Kemasyarakatan

Bentuk kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut gampong (kampung atau desa) yang dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Dalam setiap gampong ada sebuah meunasah (madrasah) yang dipimpin seorang imeum meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang dipimpin oleh seorang uleebalang, yaitu para panglima yang berjasa kepada sultan. Kehidupan sosial dan keagamaan di setiap gampong dipimpin oleh pemuka-pemuka adat dan agama, seperti imeum meunasah, teungku khatib, tengku bile, dan tuha peut (penasehat adat).
Pada masa lalu Tanah Alas terbagi atas dua daerah kekuasaan yang dipimpin oleh dua orang kejerun, yaitu daerah Kejerun Batu Mbulan dan daerah Kejerun Bambel. Kejerun dibantu oleh seorang wakil yang disebut Raje Mude, dan empat unsur pimpinan yang disebut Raje Berempat. Setiap unsur pimpinan Raje Berempat membawahi beberapa kampung atau desa (Kute), sedangkan masing-masing kute dipimpin oleh seorang Pengulu.Suatu kute biasanya dihuni oleh satu atau beberapa klen (merge). Masing-masing keluarga luas menghuni sebuah rumah panjanga.
Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat, terdiri dari : reje, petue, imeum, dan sawudere. Pada masa sekarang beberapa buah kemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil gecik, imeum, dan cerdik pandai yang mewakili rakyat.

7. Religi dan Agama

Aceh termasuk salah satu daerah yang paling awal menerima agama Islam. Oleh sebab itu propinsi ini dikenal dengan sebutan "Serambi Mekah", maksudnya "pintu gerbang" yang paling dekat antara Indonesia dengan tempat dari mana agama tersebut berasal. Meskipun demikian kebudayaan asli Aceh tidak hilang begitu saja, sebaliknya beberapa unsur kebudayaan setempat mendapat pengaruh dan berbaur dengan kebudayaan Islam. Dengan demikian kebudayaan hasil akulturasi tersebut melahirkan corak kebudayaan Islam-Aceh yang khas. Di dalam kebudayaan tersebut masih terdapat sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme.

8. Kesenian

Corak kesenian Aceh memang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam, namun telah diolah dan disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang berlaku. Seni tari yang terkenal dari Aceh antara lain seudati, seudati inong, dan seudati tunang. Seni lain yang dikembangkan adalah seni kaligrafi Arab, seperti yang banyak terlihat pada berbagai ukiran mesjid, rumah adat, alat upacara, perhiasan, dan sebagainnya. Selain itu berkembang seni sastra dalam bentuk hikayat yang bernafaskan Islam, seperti Hikayat Perang Sabil.
Bentuk-bentuk kesenian Aneuk Jamee berasal dari dua budaya yang berasimilasi.. Orang Aneuk Jamee mengenal kesenian seudati, dabus (dabuih), dan ratoh yang memadukan unsur tari, musik, dan seni suara. Selain itu dikenal kaba, yaitu seni bercerita tentang seorang tokoh yang dibumbui dengan dongeng.
Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tan saman dan seni teater yang disebut didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian bines, guru didong, dan melengkap (seni berpidato berdasarkan adat), yang juga tidak terlupakan dari masa ke masa.

9. Peralatan

Orang Aceh terkenal sebagai prajuri-prajurit tangguh penentang penjajah, dengan bersenjatakan rencong, ruduh (kelewang), keumeurah paneuk (bedil berlaras pendek), peudang (pedang), dan tameung (tameng). Senjata-senjata tersebut umumnya dibuat sendiri.

10. Pembangunan dan Modernisasi

Rakyat pedesaaan masih kurang dalam hal pendidikan dan penerangan. Pendidikan umum yang moderen adalah media yang ampuh untuk membawa perubahan dan pembangunan. Sebenarnya Aceh mempunyai potensi yang besar untuk membangun, hanya cara menggerakkannnya yang kurang. Penggeraknya adalah pemimpin-pemimpin dan orang-orang yang berpengaruh di desa, seperti keusyik dan orang-orang yang berwibawa, seperti Teungku.
Modernisasi dalam bidang pemerintahan belum tererealisir dengan baik dan sering membawa atau menimbulkan birokrasi dalam arti buruk yang diakibatkan karena korelasi antara peraturan-peraturan dan pelaksanaannya.
Modernisasi dalam bidang teknologi juga belum banyak terlihat terutama pada masyarakat yang tinggal di pedalaman. Walaupun demikian, telah diusahakan menggunakan teknologi dalam pertanian, seperti pembuatan pupuk buatan, penyemprotan hama dan lain-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar