Kamis, 20 Maret 2014

Sejarah Keris Sebagai Senjata Tradisional



Keris adalah salah satu jenis senjata tikam tradisional masyarakat Jawa dan beberapa suku bangsa di Indonesia. Bagi sebagian masyarakat Jawa, keris masih dianggap sebagai salah satu senjata piandel (andalan) yang mempunyai kekuatan gaib. Bahkan tidak jarang, keris menjadi senjata tradisional yang dikeramatkan dan harus dirawat dengan baik. Namun tidak semua jenis keris menjadi senjata andalan bagi pemiliknya. Umumnya keris yang menjadi senjata andalan bagi pemiliknya adalah keris yang dibuat oleh empu terkenal dengan laku puasa terlebih dahulu.

Umumnya kerajaan-kerajaan Jawa yang sekarang masih eksis, seperti di Yogyakarta dan Surakarta, keris masih menjadi senjata andalan bagi masing-masing kraton. Bahkan cenderung dikeramatkan. Pada bulan Sura biasanya dilakukan pembersihan keris oleh pihak kraton. Dan saat-saat tertentu saja, misalnya saat penobatan, senjata keris pusaka ini ikut diarak bersama pusaka-pusaka lainnya.

Namun pada perkembangannya dewasa ini, pembuatan keris lebih cenderung dan terfokus sebagai benda cindera mata yang berseni tinggi. Sudah jarang empu yang membuat keris pesanan seseorang yang membutuhkan untuk senjata andalan. Selain itu keris buatan sekarang lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan pasar, yakni sebagai pelengkap asesoris busana adat Jawa. Sehingga bahan yang dipakai pun hanya asal-asalan saja dan sudah tidak terdiri dari bahan baku keris yakni besi, pamor, dan baja.

Ada perkiraan, keris yang tertua dibuat di pulau Jawa, dibuat sekitar abad 6 atau 7. Keris tua itu biasa disebut keris buddha.. Bahkan ornamen muncul di salah satu dinding candi. Itu menandakan bahwa di masa lampau keris sudah menjadi andalan dan dipakai sebagai salah satu senjata.

Pada zaman dulu, empu pembuat keris menyebar di berbagai wilayah yang memiliki kerajaan, seperti di Majapahit, Singasari, Kediri, Kotagede, Pajang, Kartasura, dan wilayah lainnya. Namun untuk dewasa ini, mungkin hanya tinggal beberapa tempat di Jawa yang masih membuat keris misalnya: Yogyakarta, Surakarta, dan Madura.

Keris adalah budaya asli Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Walaupun nenek moyang bangsa Indonesia umumnya beragama Hindu dan Buddha, tidak pernah ditemukan bukti bahwa keris berasal dari India atau negara lain. Jika pada candi-candi di pulau Jawa ditemui gambar relief (antara lain candi Borobudur) yang menggambarkan adanya senjata keris, maka candi-candi di India atau negara lain tidak ditemukan. Ini sebagai bukti bahwa keris berasal dari budaya asli Jawa (Indonesia).

Setiap kerajaan yang pernah ada di pulau Jawa memiliki empu masing-masing yang membuat keris pusaka. Mereka menghasilkan pusaka-pusaka yang terkenal pula. Ada lebih seratus empu yang terkenal dari berbagai kerajaan tersebut. Sebagian nama-nama empu terkenal dari masing-masing kerajaan beserta hasil karya mereka di antaranya: empu Kandangdewa dengan hasil pusaka karyanya adalah Sang Sabuk Inten, Sang Jalak, dan Sang Kala Welang (zaman Kauripan); empu Windusarpa karyanya: Sang Barojol, Sang Bethok, dan Sang Larbango (zaman Jenggala); empu Kanaka, karyanya: Kyai Kalut dan Kyai Bang Wetan (zaman Pajajaran Makukuhan); empu Bayuaji, karyanya Kyai Setan Kober (zaman Cirebon); empu Domas, karyanya Kyai Gajah (zaman Majapahit); empu Pujadewa, karyanya: Kyai Gagak Ngore dan Kyai Ganda Wisa (zaman Majapahit); empu Kaloka, karyanya Kyai Kuwung-Kuwung (asal Madura); empu Humyang, karyanya Kyai Ombak Banyu (empu zaman Pajang); empu Tunggul Maya, karyanya Kyai Jabar (zaman Mataram), empu Luyung, karyanya: Kyai Padas Polah dan Kyai Jamur Dipa (zaman Kartasura); empu Ki Anom, karyanya Kanjeng Kyai Pulanggeni (zaman Sultan Agung, Mataram); empu Ki Joko Sugatno, karyanya Kanjeng Kyai Gajah Satrubondo (zaman Kraton Surakarta); dan masih banyak lagi empu-empu terkenal lainnya.

Empu biasanya mengabdi ke kerajaan. Mereka menjadi salah satu orang yang dihormati di kerajaan karena kelebihannya membuat keris pusaka. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa untuk membuat keris tangguh agar menjadi senjata andalan, maka bahan yang dipakai untuk membuat keris, biasanya terdiri dari campuran besi, pamor, dan baja. Sebelum memulai membuat keris ampuh, biasanya diawali dengan laku puasa dan persiapan-persiapan lain yang memakan waktu 6 hari. Persiapan-persiapan yang dilakukan antara lain: menyiapkan tempat produksi (besalen, panyirepan, dulang landesan, dan ububan; memilih pembantu pembuatan keris yang dapat dipercaya; menyiapkan semua bahan-bahan; mengajak para pembantunya untuk laku prihatin; mengadakan selamatan; dan menyiapkan mantra. Baru hari ketujuh memulai membuat keris. Di antara mantra yang biasa dilafalkan empu adalah “aum, sembahing anata tingalana de triloka sarana; awighnam astu, isun empu ....tan awacana, de nir arthaka darpa; dang dahana hagni niraweh sara sudarma”, artinya “Ya Tuhan, semoga sembah permohonan hamba ini Paduka ketahui wahai sang pelindung tiga dunia; jangan ada halangan, hamba empu .... tidak mengucapkan kata-kata yang tidak berguna dan sombong; api yang menyala-nyala ini semoga memberi pusaka yang berguna”.

Setiap keris yang dihasilkan oleh setiap empu dari masing-masing kerajaan tentu mempunyai ciri khas sendiri-sendiri, baik bentuk, ukuran, maupun kualitas. Keris yang dihasilkan oleh empu Majapahit, biasanya wilahan (bilah) menyatu dengan ukiran hulu (pegangan keris). Mulai dari ujung keris hingga pangkal pegangan terbuat dari logam. Pada pegangan keris berbentuk patung manusia. Mulai pada zaman kerajaan Demak, pegangan keris sudah tidak menyatu lagi dengan wilahan. Pembuatan keris oleh empu lebih banyak atas perintah para wali. Seorang empu bernama empu Joko Supo mendapat perintah dari Sunan Kalijaga untuk membuat keris dapur Sabuk Inten.

Keris, baru dikatakan lengkap jika sudah ada sarungnya atau yang disebut warangka. Orang yang membuat warangka keris disebut Mranggi. Jenis warangka yang dikenal dalam perkerisan tradisi Jawa adalah Ladrang dan Gayaman. Bentuk Ladrang Yogyakarta dan Surakarta berbeda, demikian pula dengan bentuk Gayaman. Sementara bagian-bagian warangka adalah: ukiran, godongan, pijetan, tampingan, awak-awak, bapangan, lenglengan, gigir, gandar, dan bandar. Jenis kayu yang sering dipakai untuk membuat warangka adalah kayu: Timoho, Trembalo, Cendana, dan Galihjati.

Pada awal mulanya, keris diciptakan oleh para empu sebagai senjata tikam untuk membela diri. Cara pembuatan keris di awal munculnya senjata ini dapat diketahui dari rekaman relief candi-candi di Jawa, misalnya di Candi Borobudur dan Candi Sukuh. Pembuatan keris lama-kelamaan mengalami penyempurnaan dan menjadi senjata handal. Raja-raja di nusantara menjadikan keris menjadi senjata pusaka. Misalnya kerajaan Majapahit, mempunyai sebuah keris pusaka bernama Kyai Sengkelat. Keris Kyai Sengkelat ini menjadi pusaka andalan dan bahkan menjadi penolak sekaligus tumbal perisai kerajaan. Artinya keris pusaka ini dijadikan pelindung keselamatan kerajaan dari segala malapetaka yang menyerang kerajaan.

Keris juga berfungsi sebagai ageman atau perlengkapan pakaian raja. Semakin keris yang dipakai raja dibuat oleh empu terkenal, maka akan semakin membuat raja yang memakai semakin dikagumi dan disegani. Sebab, biasanya keris buatan empu terkenal akan mempunyai kekuatan yang sangat ampuh. Demikian pula dengan kerabat-kerabat raja dan pembesar-pembesar kerajaan akhirnya juga memakai keris untuk menambah kharisma jabatannya. Hingga saat ini pun masih banyak raja, sentana dalem, maupun pejabat yang memiliki keris handalan yang dibuat oleh empu-empu terkenal zaman dahulu.

Bagi masyarakat Jawa sekarang, keris lebih berperanan sebagai perlengkapan berbusana. Sangat jarang keris dibawa kemana-mana jika tidak berkaitan dengan upacara tradisi, misalnya upacara pengantin atau upacara merti dusun. Pada saat upacara tradisi itulah, masyarakat Jawa baru mengenakan keris yang berfungsi untuk melengkapi pakaian tradisional yang dikenakan, misalnya mengenakan pakaian surjan atau beskapan. Namun tidak semua keris yang dipakai dalam upacara tradisional tersebut adalah keris pusaka. Sebagian hanya keris sebagai asesoris yang dibuat dari bahan yang asal-asalan saja seperti dari aluminium.

Keris yang dibuat oleh empu, ada yang bentuknya lurus dan ada pula yang berlekuk atau berluk. Keris berluk biasanya ganjil, misalnya luk 3, luk 5, luk 7, luk 9, luk 11, luk 13, luk 15, luk 17, dan seterusnya. Namun untuk keris berluk, kebanyakan yang dibuat adalah maksimal berluk 13. Walaupun ada keris-beris berluk di atas 13, seperti keris berluk 29, berluk 31 atau bahkan keris berluk 75, namun sangat jarang dijumpai. Keris lurus yang dibuat oleh empu terkenal, misalnya keris dapur lar ngantap, keris dapur pasopati, dan keris dapur cundrik (dibuat empu Ramadi); keris lurus dapur jalak dinding (karya empu Isakadi); keris lurus dapur tilam upih (karya empu Bramagedali).

Keris-keris yang mempunyai luk banyak dihasilkan oleh para empu terkenal. Keris-keris berluk yang terkenal itu pun sekarang dimiliki oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan dan terpandang. Keris berluk dan dibuat oleh empu terkenal, misalnya keris luk 11 dapur sempana (karya empu Janglatikala); keris luk 11 dapur santan dan keris luk 19 dapur karacan (karya empu Sulati); dan keris luk 9 dapur panimbal, keris luk 13 dapur jamen, keris luk 13 dapur buto ijo (karya empu Domas zaman Brawijaya Majapahit).

Sementara keris-keris berluk yang dimiliki oleh orang-orang terkenal di negeri ini, misalnya seperti keris yang dimiliki oleh mantan Presiden RI ke-2 Soeharto. Beliau memiliki keris luk 13, dengan nama Kangjeng Kyai Sengkelat zaman kerajaan Majapahit yang diciptakan oleh empu Supo Mandrangi. Keris lain adalah keris berluk 11 dengan dapur Sabuk Inten.

Istilah keris, biasanya menunjuk pada bilah keris dan warangkanya. Bentuk warangka beraneka ragam, seperti bentuk ladrangan dan gayaman. Sementara bilah keris bisa berbentuk lurus atau berlekuk. Dalam ilmu perkerisan juga dikenal dengan istilah “dapur”. Istilah dapur keris adalah suatu penamaan ragam bentuk atau tipe keris sesuai dengan ricikan yang terdapat pada keris itu dan jumlah luknya. Penamaan dapur keris ada patokan dan pembakuannya. Dalam dunia perkerisan, pembakuan ini disebut dengan pakem dapur keris. Setiap bilah keris biasanya mempunyai beberapa bagian dengan nama-nama seperti kudup, bungkul, greneng, kembang kacang, gandik, lambe gajah, buntutm sirah cecak, dan peksi/pesi.

Istilah dapur khususnya dipakai dalam menentukan jenis bilah keris yang berasal dari Jawa, dan menurut jumlah luk yang terdapat pada bilah masing-masing keris. Macam-macam dapur keris jumlahnya hingga ratusan, sesuai dengan bilah keris dan jumlah luk keris. Dapur keris yang dikenal dalam ilmu perkerisan antara lain: Tilam Upih, Tilamsari, Sabuk Inten, Brojol, Kebo Lajer, Jalak Tilam Sari, Kala Tinantang, Ngamperbuta, Mahesa Nabrang, Nagasasra, Sengkelat, Panji Sekar, Sabuk Tampar, Pasopati, Naga Siluman, Kalamunyeng, Kidangsoka, Jalak Ngore, dan lain-lain.

Setiap dapur keris yang mempunyai nama tertentu pasti dengan ciri khas tertentu pula. Misalnya, dapur Tilamupih berupa bilah keris yang dilengkapi hanya dengan sebuah tikel dan kembang kacang. Keris dapur Jalak Ngore berupa bilah keris yang dilengkapi dengan sraweyan dan greneng. Sementara keris dapur Brokol adalah berupa bilah keris yang terpadu dengan ganjanya, menjadi satu bentuk utuh dan dilengkapi dengan pijetan. Keris dapur Tilamsari adalah bentuk bilah keris yang dilengkapi dengan kruwingan, pijetan, dan grenengan. Keris dapur Kalamunyeng adalah bentuk bilah keris lurus namun memiliki sogokan depan, badan bagian depan tipis dan belakang agak tebal sehingga terkesan agak berpunggung. Dapur ini dilengkapi dengan duri pandan, terdapat dua buah gusen atas dan bawah.

Selain itu, setiap keris juga memiliki pamor. Pamor adalah pola atau lukisan yang terlihat pada bilah keris yang dibuat dari baja putih. Pamor dalam sebuah bilah keris dapat memberi petunjuk mengenai kualitas teknik penempaan dan cara pengolahan logam-logam yang dipergunakan dalam proses pembuatan. Munculnya pamor ini akan memberi nilai artistik dari setiap keris yang dihasilkan oleh empu. Dari pamor ini pula, kadang bisa pula untuk menentukan seorang empu pembuatnya sekaligus zamannya. Munculnya pamor dalam sebuah keris inilah yang kemudian menggambarkan suatu makna simbol yang khas.

Macam-macam pamor keris yang dikenal dalam dunia perkerisan antara lain: Wos Wutah, Kelengan, Sanak, Wengkon, Mrambut, Banyu Tumetes, Adeg, Blarak Ngirit, Wengkon, Tambal, Sekar Pala, Lawe Setukel, Ombak Emas, Sekar Blimbing, Walang Sinunduk, Pandhan Binethot, Udan Mas, dan lain-lain.

Sementara dalam perkerisan dikenal pula istilah tangguh. Tangguh menurut kamus bahasa Indonesia adalah sukar dikalahkan. Tangguh keris dapat juga dikatakan atau diartikan sebagai ciri atau gaya suatu zaman atau kerajaan. Macam-macam tangguh antara lain: Mataram, Blambangan, Tuban, Kartasura, Pajang, Majapahit, Yogyakarta, Surakarta, Pejajaran, dan lain-lain.

Kebudayaan Nasional

Kebudayaan nasional

Kebudayaan nasional adalah kebudayaan yang diakui sebagai identitas nasional. Definisi kebudayaan nasional menurut TAP MPR No.II tahun 1998, yakni:

“ Kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta, karya dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk memberikan wawasan dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap bidang kehidupan bangsa. Dengan demikian Pembangunan Nasional merupakan pembangunan yang berbudaya.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Wujud, Arti dan Puncak-Puncak Kebudayaan Lama dan Asli bagi Masyarakat Pendukungnya, Semarang: P&K, 199 ”

Kebudayaan nasional dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah “puncak-puncak dari kebudayaan daerah”. Kutipan pernyataan ini merujuk pada paham kesatuan makin dimantapkan, sehingga ketunggalikaan makin lebih dirasakan daripada kebhinekaan. Wujudnya berupa negara kesatuan, ekonomi nasional, hukum nasional, serta bahasa nasional. Definisi yang diberikan oleh Koentjaraningrat dapat dilihat dari peryataannya: “yang khas dan bermutu dari suku bangsa mana pun asalnya, asal bisa mengidentifikasikan diri dan menimbulkan rasa bangga, itulah kebudayaan nasional”. Pernyataan ini merujuk pada puncak-puncak kebudayaan daerah dan kebudayaan suku bangsa yang bisa menimbulkan rasa bangga bagi orang Indonesia jika ditampilkan untuk mewakili identitas bersama. Nunus Supriadi, “Kebudayaan Daerah dan Kebudayaan Nasional”

Pernyataan yang tertera pada GBHN tersebut merupakan penjabaran dari UUD 1945 Pasal 32. Dewasa ini tokoh-tokoh kebudayaan Indonesia sedang mempersoalkan eksistensi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional terkait dihapuskannya tiga kalimat penjelasan pada pasal 32 dan munculnya ayat yang baru. Mereka mempersoalkan adanya kemungkinan perpecahan oleh kebudayaan daerah jika batasan mengenai kebudayaan nasional tidak dijelaskan secara gamblang.

Sebelum di amandemen, UUD 1945 menggunakan dua istilah untuk mengidentifikasi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional. Kebudayaan bangsa, ialah kebudayaan-kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagi puncak-puncak di daerah-daerah di seluruh Indonesia, sedangkan kebudayaan nasional sendiri dipahami sebagai kebudayaan bangsa yang sudah berada pada posisi yang memiliki makna bagi seluruh bangsa Indonesia. Dalam kebudayaan nasional terdapat unsur pemersatu dari Banga Indonesia yang sudah sadar dan mengalami persebaran secara nasional. Di dalamnya terdapat unsur kebudayaan bangsa dan unsur kebudayaan asing, serta unsur kreasi baru atau hasil invensi nasional.

Batik Budaya Indonesia



Jenis budaya indonesia yang sangat terkenal bahkan mendumia sekarang ini adalah batik. Budaya membatik memang sudah ada sejak nenek moyang kita tetapi beberapa tahun dilupakan dan hampir di klaim oleh negara lain oleh karena itu mulai beberapa tahun terakhir ini indonesia sangat menjaga dan harus melestarikan budaya membatik dengan cara membiasakan memakai batik saat disekolah, kantor atau pada saat acara pernikan dan kondangan.

Batik adalah seni rupa dua dimensi dan media pembuatanya yaitu kain tetapi sekarang mobil, kereta api serta casing laptop / handphone juga dapat menjadi media membatik.

Peralatan yang dibutuhkan ketika mau membatik :

1. Canting adalah alat untuk membatik. Biasanya terbuat dari bahan tembaga yang ujungnya menyerupai paruh burung.
2. Gawangan adalah tempat untuk meletakkan kain yang akan dibatik. Gawangan dapat terbuat dari kayu atau bambu
3. Wajan berupa wajan kecil untuk mencairkan malam atau lilin. Wajan ini bisa terbuat dari tembaga atau tanah liat
4. Anglo / kompor kecil digunakan untuk memanaskan wajan
5. Malam/lilin : terbuat dari campuran berbagai jenis bahan yang berupa gondorukem, lemak minyak kelapa, dan parafin
6. Bahan pewarna biasa juga disebut sebagai wedel atau tom

Cara membatik :

Siapkan kain, buat motif diatas kain dengan menggunakan pensil
Setelah motif selesai dibuat, sampirkan kain pada gawangan
Nyalakan kompor/anglo. Taruh malam/lilin ke dalam wajan dan panaskan wajan dengan api kecil sampai malam mencair sempurna. Biarkan api tetap menyala kecil
Mulailah membatik dengan cara ambil sedikit malam cair dengan menggunakan canting, tiup-tiup sebentar biar tidak terlalu panas, kemudian goreskan canting dengan mengikuti motif yang telah ada. Hati-hati jangan sampai malam yang cair menetes diatas permukaan kain karena akan mempengarufi hasil motif batik
Setelah semua motif tertutup malam, maka proses selanjutnya adalah proses pewarnaan
Siapkan bahan pewarna di dalam ember, kemudian celupkan kainnya ke dalam larutan pewarna dengan menggunakan kuas, ulangi sampai beberapa kali.
Tahap selanjutnya adalah proses penghilangan lilin batik dengan cara pengerakan dan melarod
Tahap terakhir dari proses pembuatan batik ini adalah proses pencucian dan penjemuran.


Itulah cara dan peralatan untuk membatik jadi batik yang dibuat diatas adalah batik tulis, jenis batik lainya juga berfariasi misalkan batik cap dan lain-lain.
Email This

Keanekaragaman Seni Budaya Indonesia

Secara spesifik keadaan sosial budaya Indonesia sangat kompleks, mengingat penduduk Indonesia kurang lebih sudah di atas 200 juta dalam 30 kesatuan suku bangsa. Oleh karena itu pada bagian ini akan dibicarakan keadaan sosial budaya Indonesia dalam garis besar. Kesatuan politis Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas 6000 buah pulau yang terhuni dari jumlah keseluruhan sekitar 13.667 buah pulau.



Keanekaragaman Jenis Budaya Indonesia
Dapat dibayangkan bahwa bahasa Indonesia yang dijadikan sebagai bahasa nasional belum tentu sudah tersosialisasikan pada 6000 pulau tersebut, mengingat sebagian besar bermukim di pedesaan. Hanya 10-15% penduduk Indonesia yang bermukim di daerah urban. Indonesia sudah tentu bukan hanya Jawa dan Bali saja, karena kenyataan Jawa mencakup 8% penduduk urban. Sementara itu bahasa Indonesia masih dapat dikatakan sebagai “bahasa bagi kaum terdidik/sekolah” pada daerah-daerah yang tidak berbahasa ibu bahasa Indonesia. Bagaimana dengan yang lain? Sementara ada orang asing pada tahun 1998 sangat kebingungan mengartikan kata lengser keprabon yang dalam Kamus Bahasa Indonesia belum tercantum, sedangkan untuk mengartikan lengser keprabon tidak sekedar pengertian definitif dalam semantik bahasa Indonesia.


Lengser keprabon (yang sekarang sudah dianggap bahasa Indonesia, seperti dengan kata lain seperti “legawa”) harus dipahami dalam perspektif sejarah kebudayaan dan sistem politik Jawa. Oleh karena itu dengan mempelajari aspek psikologis budaya Jawa, penutur asing dapat memahami makna sebenarnya kata “Lengser Keprabon”. Contoh lain, seperti kata “ Gemah Ripah Loh Jinawi” yang sering digunakan dalam kosa kata bahasa Indonesia yang menggambarkan kesuburan Indonesia, antara penutur Jawa dan Sunda memiliki konsep yang berbeda. Dalam konsep Jawa “Gemah Ripah Loh Jinawi, Subur kang Sarwa Tinandur, Murah kang Sarwa Tinuku, Tata Tentrem Kerta Raharja”, sementara saudara-saudara dari Sunda mengekspresikan dalam “ Tata Tentrem Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi , Rea Ketan Rea Keton Buncir Leuit Loba Duit” yang artinya saudara dari suku Sunda yang lebih memahami. Sementara itu di Sumatera Barat dengan adat Minangkabau yang didalamnya terdapat suatu sistem yang sempurna dan bulat, dalam berbahasa sangat memperhatikan raso, pareso, malu dan sopan, sehingga bahasa Indonesia yang dituturkannya pun sangat terkait dengan psikologi budaya Minangkabau.

Demikianlah, Indonesia sebagai sebuah “nation state” yang menurut Benedict Anderson merupakan sebuah imajinasi. Kenyataan di dalam “nation state” terdapat komunitas dalam kemajemukan (heterogeneity), perbedaan (diversity). Dengan demikian bahasa Indonesia merupakan suatu pengertian tanda budaya yang didalamnya penuh dengan perbedaan (hibriditas). Hampir sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di daerah “rural” sehingga budaya heterogen pedesaan sangat mewarnai pola tutur bahasa Indonesia. Kenyataan menunjukkan tidak semua masyarakat Indonesia hidup di daerah industri dan berperan sebagai masyarakat industrial, masyarakat informatif, dan bagian dari masyarakat global. Di sebaran pulau-pulau Indonesia masih ditemui kebudayaan “hunting and gathering” yang terdapat secara terbatas di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan beberapa pulau kecil lain yang kira-kira berjumlah 1-2 juta dengan pola hidup langsung dari alam. Demikian juga kehidupan berkebudayaan nomadis pun masih dijumpai.

Hampir semua pula di Indonesia masih banyak kebudayaan masyarakat bercorak agraris, baik dengan bercocok tanam yang berpindah-pindah, pertanian tadah hujan, pertanian irigasi sawah, perkebunan dan pertanian mekanis. Oleh karena unsur budaya agraris masih mendominasi masyarakat Indonesia, maka masih dijumpai masyarakat dengan akar primordialisme yang kuat serta kebiasaan feodal. Hal ini turut mengkondisikan warna kebudayaan Indonesia serta masyarakat dalam bertutur dalam bahasa Indonesia. Terlebih-lebih kondisi sekarang, saat politik memberi kesempatan desentralisasi dan hak otonom, maka semangat primordialisme dapat muncul dalam berbagai aspek salah satunya dalam penggunaan bahasa Indonesia.

Oleh sebab itulah dalam memahami Sosial Budaya dan psikologi masyarakat Indonesia yang nantinya berimplikasi pada tindak tutur berbahasa Indonesia, paling tidak dalam pendekatan silang budaya memperhatikan tiga hal yaitu:
(a) masyarakat dalam perspektif agama
(b) perspektif spiritual
(c) perspektif budaya.

Dari perspektif agama, masyarakat Indonesia dalam berperilaku menyelaraskan diri dengan tatanan yang diyakini berasal dari Tuhan, perspektif spiritual merujuk pada pengembangan potensi-potensi internal diri manusia dalam aktualisasi yang selaras dengan hukum non materi, dan perspektif budaya yang merujuk pada tradisi penghayatan dan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan untuk
membangun sebuah kehidupan yang comfort baik secara individu maupun kolektif.

Dalam konteks perubahan social sekarang masyarakat Indonesia dalam sekat pluralisme terakomodasi secara otomatis dalam civics responsibility, social economics responsibilities, dan personal responsibility